Sabtu, 04 Juni 2016

Cerpen Tugas Bahasa Indonesia

Posted By: Unknown - 02.44

Share

& Comment


   

   Assalamualaikum, Kali ini kita akan membahas cerpen. Kenapa cerpen?  karena ini tugas remedial bahasa indonesia Kita :v (hampir satu kelas). Tanpa basa basi silahkan nikmati karjian cerpen yang saya survey dari google ini.

1. I'm telatan not teladan!!


Senin pagi seperti biasa lndah berangkat sekolah dengan tergesa gesa. Karena, lagi-lagi dia harus mengalami suatu kejadian yang membuat nya gelisah, Terpepet Waktu! “ pukul 06.45” desis lndah sambil mempercepat langkah setengah berlari.

Di perjalan lndah melihat Angga, teman sekelasnya. Angga membawa motor dan lndah pun berteriak “ANGGA!” teriaknya sambil melambai lambaikan tangan memberi isyarat untuk berhenti. Dengan refleks nya Angga pun mendekat ke arah lndah dan berhenti. “kamu lagi ngapain disini, ndah?” tanya Angga polos.
DUARRRRRRR!!!!!!!!!!!! (Ini Angga belum sarapan apa belum mandi apa belum bayar cicilan motor ya?-_- dia nanya “kamu lagi ngapain disini?” ih jelas jelas aku mau on the way sekolah! Haduh dasar Angga!)
Lagi-lagi lndah mendengus kesal. Bagaimana tidak? Pertama, dia telat! Kedua, Angga nanya yang gak jelas! Ketiga, Gak dapat tumpangan gratis! “Argghhhhhh ...... Maraton ajalah, 10 menit lagi bell sekolah bunyi.” Ucap lndah kemudian berlari bagaikan seekor kancil tertangkap petani karena mencuri mentimun.
“ng... ng... Lagi lari pagi ga, biar sehat gitu hehe” jawab lndah asal menahan tawa karena melihat ekspresi muka Angga yang polos. “oh yaudah lanjutin aja ndah, semangat ya.” Jawab Angga yang kemudian menancapkan gas meninggalkan lndah sendirian.
“Sssstttt .......” lndah setengah berteriak memberi kode rahasia yang biasa di pake kalo lagi LONPAG(Loncat Pagar) ke arah Gembul, teman seperjuangannya loncat pagar. Namanya sih Rio, tapi karena dia gendut dan tukang makan, jadi dia pun mempunyai panggilan kesayangan, Gembul. “Ayo lempar tas mu, ndah” ucap Gembul sambil menggerakan tangannya memberi isyarat kepada lndah untuk melemparkan tas nya. Satu per satu anak-anak itu pun mulai meloncat dan berhasil sangat mulus. Sama halnya dengan lndah, dia mendapat giliran terakhir meloncat. Namun, karena kelihaiannya dalam hal loncat meloncat , lndah pun berhasil.
Tett ... Tett .... Tett... Bell masuk sekolah pun terdengar jelas di telinga lndah. Namun sialnya lndah belum masuk kelas! Jangankan masuk kelas, masuk gerbang sekolah juga lagi proses. Karena ya ..... Dia dan gerombolan teman-temannya harus melakukan aksi mainstream, LONCAT PAGAR!!! Setinggi 2 meter! Sedangkan lndah tinggi nya hanya 160cm, kebayang kan gimana perjuangan nya?
“Selamat pagi pak Husni.” Sapa lndah yang kini sedang berdiri di depan pintu kelasnya. Kelas XI-ll Bahasa. “Melakukan ritual seperti biasa, lndah?” tanya pak Husni ketus dan membuat suasana kelas hening yang awalnya ramai. “Ng.. Ng... Anu pak, tadi saya ... Saya .. Ng ..” lndah bingung harus mejawab apa, karena tidak mungkin kalau dia menceritakan kejadian yang sebenarnya. “Sudah, kamu duduk! Bapak juga tau setiap pagi kamu itu loncat pagar, bersama teman-teman yang sama sepertimu kan? Indah! Padahal kamu itu bisa menjadi murid teladan, kamu sudah hampir memenuhi syarat murid teladan, nilai-nilai di rapot mu bagus semua, kamu sopan kepada guru! Hanya saja kamu selalu terlambat. Kenapa kamu melakukan hal itu? Loncat pagar atau apalah semacamnya!” ketus pak Husni setengah berteriak yang membuat lndah harus mati-matian menahan air mata yang sebentar lagi akan meluncur di pipinya.

Hening ...... Suasana kelas kini seperti ada ulangan matematika! “Bapak sangat mengharapkan kamu, lndah” sambung pak Husni yang 180 derajat berubah menjadi lirih, yang kini benar-benar membuat lndah mengeluarkan air mata. “Pak, maaf sebelumnya saya juga gak mau setiap hari harus loncat pagar, berangkat sekolah dengan tergesa gesa, tapi asal pak Husni tau! Sebelum saya berangkat sekolah, saya harus membuat kue untuk di jajarkan di warung warung. Kemudian merawat ibu saya dulu, ibu saya sedang sakit parah pak, saya gak punya uang untuk membawa beliau ke rumah sakit. Apa bapak pernah merasakan bagaimana rasanya berada di posisi saya? Pak, lebih baik saya menjadi murid TELATAN tetapi saya menjalankan kewajiban saya terlebih dahulu, merawat ibu yang sedang sakit. daripada saya menjadi murid TELADAN tapi meninggalkan ibu, mencapakkan ibu yang sedang sakit terbaring lemah di kasur. Lebih baik saya kehilangan barang berharga, jabatan tinggi, daripada saya harus kehilangan ibu yang saya cintai. Karena saya yakin rezeki itu sudah ada yang mengatur dari ALLAH SWT.” Ucap lndah terbata bata menahan tangisan yang berkelanjutan. Lantas membuat Pak Husni diam tidak bisa berbicara apa-apa.

SELESAI
Karya : Vina Ayuni 


2. Bunga Setahun Sehujan 

Kota Bengawan, Desember 2012
    Gerimis bukan lagi gerimis. Angin yang bertiup pun tak cukup hanya dibilang dingin. Alam beralih peran. Terik panas yang biasa menghujam kota Bengawan ini pun, lebih memilih untuk menjadi mendung. Hujan. Saat hitam menggelayuti awan. Dan rerintikan air bergantian menghujam tanah. Berisik. Suaranya menimpa atap rumah. Penghujung tahun. Ya… inilah Desember.
♥♥♥

“Ck, hujan lagi.” Keluh seorang gadis berambut panjang setengah punggung, yang baru saja keluar dari kelasnya.
“Kenapa? Nggak bawa mantol?” tanya temannya.
“Bukan. Nggak suka aja.”
“Hm?” teman gadis itu melangkah ke arah balkon kelas yang memang berada di lantai dua. Kemudian, menengadahkan wajah menatap langit. Sesekali tangannya merasakan air hujan sambil diulurkan. “Ada ya, orang yang benci hujan?”
“Ada.” Gadis berambut panjang itu melangkah meninggalkan temannya, “aku.”
“Emangnya kenapa? Jadi galau yaaa?”
“Aku nggak suka hujan bukan karena apa-apa.”

Bunga Setahun Sehujan
   Temannya mengernyitkan kening, sambil mengikuti langkah gadis itu yang semakin cepat menuruni anak tangga, “terus? Kenapa, dong? Kamu aneh. Kayak Kugy di novel Perahu Kertas!”
“Hujan itu berisik.”

Desember 2011
   “Hobi kok hujan-hujanan! Masuk! Nanti sakit, terus nggak masuk sekolah! yang repot bukan cuma kamu! Mamah juga repot!”

   Omelan wajar itu keluar dari mulut seorang ibu setengah baya kepada putrinya yang masih saja di luar rumah meski hujan mulai deras. Tak tahan dengannya, gadis yang diomeli itu pun masuk ke dalam rumah sambil tergopoh-gopoh dan segera mengambil handuk.
“Sekali-kali, biarin deh, Mah. Anak mamah yang satu ini agaknya belum pernah dibiarin hujan-hujan loh!” ujarnya, masih sibuk dengan rambut panjangnya yang kuyub.
“Udah kewajiban seorang ibu mengingatkan anaknya yang bandel kayak kamu, to?”
“Tapi, maaah…”
“Nggak ada tapi-tapian. Dasar, bawel. Cepet mandi! Mamah masakin balado telur kesukaan kamu, nih..”
“Asiiiik… makasih mamaaah…”
Lila. Gadis periang pecinta hujan. Bersamanya, ia yakin, bahwa seluruh gundah yang menderanya akan ikut luluh. Semua bermula saat dirinya SD. Saat itu sudah saatnya pulang, Lila pun sudah dijemput sang ayah. Namun, berjam-jam ia dan ayahnya menunggu hujan reda di sekolahnya. Karena Lila yang cerewet itu mulai merajuk, ayahnya bertekat untuk menembus hujan dan mengayuh sepeda balapnya kencang-kencang agar putrinya tidak terlalu kebasahan. Walaupun sebenarnya sama saja. Lila tetap basah kuyub. Tapi, ia sangat menikmatinya. Membonceng ayah dengan sepeda balap dan diguyur hujan itu… menenangkan. Lila suka ketenangan.

   Lila menghentikan aktivitasnya menyalin catatan Kumi, temannya. Akhir-akhir ini ia memang sering kelewatan banyak materi sekolah karena harus ikut beberapa lomba kesenian di sekolahnya. Jadi, memang sepintar-pintarnya Lila harus membagi waktu dan mengejar materinya yang tertinggal. Masih di Desember yang sama, dan di bawah guyuran langit mendung yang sama, hujan mulai menderas. Lila tersenyum menatap buliran air hujan yang berebutan menitik di kaca jendelanya. Kalau tidak ingat hari mulai gelap, ia pasti sudah berlari keluar dan bermain dengan hujan.
“BRAK!!”
   Ketenangan Lila buyar, saat suara meja makan yang digebrak terdengar. Tak lama setelahnya suara ayahnya ikut menggema seantero rumah mungil Lila. Gadis itu mulai takut. Apalagi saat ibunya ikut mengadu mulut. Ini kali pertama Lila mendengar pertengkaran orang tuanya. Pedih. Dan bersamaan dengan air hujan, buliran bening air mata Lila menitik juga.

   Kejadian seperti itu berulang kali dialami Lila. Hingga gadis itu mulai frustasi. Ia yang menyukai ketenangan selama belajarnya pun berubah menjadi Lila yang harus menyumpal lubang telinganya dengan headset dan memutar lagu dengan volume super keras agar suara-suara orang tuanya itu teredam. Namun, Lila jadi jengah sendiri, ia rindu ketenangannya dulu… ini terlalu berisik. Lubuk hati terdalamnya tidak menyukai ini.
“Ah!” teriak Lila di kelas, sontak penghuni kelas yang lain pun terkejut. Untung, Pak Dani baru saja keluar kelas.
“Lil? Kamu ngapain??” tanya Kumi.
“Kenapa hujan lagi sih! Berisik banget!”
“Hah? Kamu kenapa?”
“Nggak tau. Aku benci hujan. Suara airnya berisik!”
“Hei, iya oke, kalo kamu nggak suka hujan, tapi nggak perlu teriak-teriak kayak begini kan?? Kalau Pak Dani dengar gimana?? Malu juga diliatin…”
“Ck, ah! Kamu juga sama berisiknya!” Lila tak kuasa menahan emosi. Dibentaknya Kumi. Gadis yang dibentak langsung menciut, pasalnya sahabatnya itu belum pernah semarah ini. Apalagi untuk urusan sepele, seperti saat ini. Tapi, bagi Lila ini bukan hal sepele. Kepalanya sedang benar-benar mau pecah, rasanya. Orang tuanya bertengkar lagi semalam, dan yang kali ini lebih parah.
“Terserah kamu, Lil. Kalau emang lagi badmood, jangan nyalah-nyalahin hujan seenaknya sendiri gitu… semuanya nggak selamanya salah kan? Kamu pun belum tentu benar!”
Diam. Lila menelan bulat-bulat ucapan Kumi. Menyadari kebodohannya.
♥♥♥

Desember 2012
   “Nah, udah reda kan?”
Lila bangun dari lamunannya, kemudian melepas headset di telinganya. Benar kata Kumi. Hujan sudah reda. Matahari mulai menyembul, menilik ranah buminya dengan sinar setengah cerah. Aromanya juga berubah. Agaknya tanah mulai melepas dahaga.

   Kedua mata Lila tertuju pada Kumi yang entah sejak kapan sudah berjongkok di depan green house sekolah. Memandangi jejeran bunga yang bentuknya menyerupai dandelion. Hanya saja ukurannya lebih besar dan warnanya kemerahan. Lila tak tahu apa itu, yang ia yakin, bunga aneh itu tidak mungkin terbang seperti dandelion saat ditiup. Haha.
“Apaan nih? Siapa yang menanam beginian? Kamu?” tanya Lila setelah mendekati Kumi.
“Aduuuh, Lilaaa.. kamu nggak up to date banget sih? Kamu lupa ini bulan apa?”
“Apa? Desember? Terus? Kok kamu nggak nyambung sama omongan aku sih, Kum?”
“Yee.. Kamu itu yang nggak nyambung! Sini jongkok! Biar aku jelasin!”

   Lila mengikuti perintah Kumi.
“Ini namanya Bunga Desember. Bunga yang paling paham dengan musim. Dia bahkan tahu betul bulan apa sekarang.”
“Emangnya dia tumbuh sendiri gitu?” tanya Lila, polos.
“Iya!” jawab Kumi, “bunga ini cuma tumbuh sekali dalam setahun. Tanpa ada yang menanamnya, Lil. Mereka tumbuh berjejer rapi. Ya.. di bulan Desember. Sama seperti namanya. Manis, kan? Menurutku sih, bunga ini istimewa. Penyabar. Dia pasti menunggu-nunggu datangnya bulan Desember kan? Bunga ini juga membawa kebahagiaan. Setidaknya, siapapun yang melihat bakal mencelos hatinya. Dan mereka akan berseru senang, ‘akhirnya, bunganya tumbuh!’ kalau aku jadi bunga Desember, pasti bakalan bahagia banget. Kehadirannya ditunggu-tunggu setiap tahunnya.”
Lila, gadis berambut panjang setengah punggung itu tidak bergeming mendengarkan ucapan Kumi. Kemudian hati dan otaknya yang cerdas mulai menyimpulkan.

   “Semua akan indah pada saatnya. Kesabaran selalu berbanding lurus dengan pencapaian. Kesabaran yang tulus akan membuahkan keberhasilan. Begitu pula sebaliknya. Dan ia yakin, masalah tak selamanya menjadi masalah. Ada saatnya semua akan berlalu. Seperti hujan di Bulan Desember yang mengantarkan ke sebuah bunga yang indah.

SELESAI
Karya : Karya Aiyas Mutiara 
3. Mana Bisa Pensiun

   Suasana kelas akhir-akhir ini selalu lebih tenang dari biasanya. Di hari-hari lain, berbagai macam suara dapat dengan mudah didengar dari ruang guru yang hanya berjarak 5 meter, mulai dari celotehan ringan hingga tawa membahana akibat ulah lucu salah satu teman sekelasku. Biasanya keributan itu akan diakhiri dengan pelototan dari sang guru, atau yang lebih parah, hukuman bagi seluruh siswa. Tapi kini, semua itu tidak terjadi lagi.

   Tidak, karena kami sudah lulus.
Setelah selesai mengikuti rangkaian Ujian Nasional dan Ujian Sekolah, tidak banyak siswa kelas IX yang masih ingin berlama-lama di sekolah. Kelasku adalah salah satu contoh nyata. Tiap harinya, paling banyak hanya sekitar lima belas orang yang hadir. Itu pun kebanyakan laki-laki semua, karena mereka berniat main game lewat laptop mereka. Katanya sih, main game begitu enaknya ramai-ramai.
  “Kalau di rumah sih nggak seru.” Begitu kata Ivan setelah kutanya mengapa dia tidak bermain di rumahnya saja.

Mana Bisa Pensiun?
   Sisanya, yah, orang-orang yang tidak punya kegiatan lain, baik di rumah maupun di sekolah. Salah satunya ya aku. Kalau aku diam di rumah, aku pasti kesepian karena jam segini orang-orang rumah masih sibuk. Orangtua kerja, adik-adik sekolah. Lebih baik rasanya kalau diam di sekolah saja. Setidaknya masih ada teman-teman, walau memang tidak banyak.
“Hei, ngapain tidur jam segini? Masih pagi!”

   Aku mengangkat wajah dari atas meja. Mungkin dia mengira aku sedang tertidur, padahal aku hanya sedang menelungkup karena bosan.
“Aku nggak tidur kok.” Kilahku. “Aku bosan.”
“Mau nonton film lewat laptop-ku? Aku punya film bagus. Kita ajak yang lain juga.”
“Boleh aja.”

   Aku bangkit dari dudukku dan berjalan gontai mengikuti langkahnya. Ia memanggil beberapa teman yang nampak sama bosannya dengan diriku. Seketika wajah mereka menjadi cerah. Aku mulai bertanya-tanya apakah tadi raut wajahku juga seperti itu.
“Film apa yang kamu punya, Den?” Tanya salah seorang temanku.
“Hachiko.” Jawabnya sambil meletakkan laptop-nya ke atas meja. “Ada yang udah pernah nonton?”

   Aku tahu film itu. Ceritanya tentang seekor anjing Akita yang sangat setia pada tuannya, sebuah kisah nyata yang terjadi di Jepang. Sudah lama aku ingin menontonnya, dan aku pernah mengatakan hal itu padanya.
“Kenapa kamu bisa punya film Hachiko?” Tanyaku.
“Kan kamu pernah bilang kalau kamu ingin menontonnya. Kamu lupa?” Ujarnya sambil tersenyum.
Aku balas tersenyum. Begitulah Denise. Ia memang sahabatku yang paling baik.
***

   Malam harinya, aku tidak bisa tidur. Aku hampir selalu kesulitan untuk tidur akhir-akhir ini. Kurasa itu karena aku sedang banyak pikiran. Memang aneh, padahal aku baru saja lulus dan pencapaianku juga tidak bisa dibilang tidak memuaskan. Remaja normal lainnya mungkin justru sangat antusias dalam menjalani masa-masa seperti ini. Masa-masa bebas dari jeratan tugas dan ulangan.
Yang kupikirkan sebetulnya adalah mengenai teman-temanku.
Hampir separuh siswa seangkatanku memilih melanjutkan sekolah ke tempat yang sama, sebuah SMA yang memang menjadi favorit di kotaku. Anehnya, aku justru tidak berminat ikut bersekolah di sana. Aku punya kecenderungan untuk tidak mengikuti tren, mungkin karena aku memang orang yang aneh. Aku dan segelintir siswa lainnya memilih sekolah lain, yang bisa dikatakan sebagai favorit nomor dua. Aku sedih karena akan berpisah dengan sahabat-sahabatku yang telah bersama-sama menjalani tiga tahun yang penuh kenangan.
Err, mungkin juga karena aku akan berpisah dengan Denise.

  Beberapa minggu setelah angket pemilihan sekolah dibagikan, aku benar-benar marah dan kecewa padanya. Awalnya kami sudah sepakat untuk pergi ke sekolah yang sama. Aku senang sekali. Sudah terbayang di benakku bahwa kami akan menghabiskan tiga tahun lagi bersama-sama. Tapi, di hari pengumpulan angket, aku melihat angket miliknya tidak sama denganku. Itu adalah angket dari sekolah favorit incaran teman-temanku. Aku tidak menyangka dia bisa setega itu membohongiku.
“Kamu bilang kamu akan pergi ke sekolah yang sama denganku!”
“A, aku berubah pikiran…”
“Kenapa?”
“Orangtua dan nenekku bilang, aku sebaiknya masuk ke sekolah lain yang lebih dekat.”
“Kalau kita pisah sekolah, kita nggak bisa sering-sering ketemu lagi, Denise! Siapa yang akan ngajarin aku matematika lagi, Den…?”
“Yah, jangan sedih begitu dong. Kita kan cuma terpisah sedikit aja. Kamu kan pintar, belajar matematika pasti bukan hal yang sulit buat kamu…”
“Dasar pembohong!”
Tapi kalau dipikir-pikir lagi, aku memang sangat bodoh dan egois waktu itu. Memangnya aku ini siapa, sih, sampai-sampai merasa berhak untuk mengatur sekolah mana yang harus dia masuki?
Tapi tetap saja, aku merasa sedih. Sahabat seperti itu tidak seperti sandal yang selalu ada dua. Sahabat seperti itu munculnya mungkin cuma sekali seabad. Sahabat yang benar-benar mengerti tentang kita. Yang murni sahabat, tidak mengharapkan lebih walaupun dia seorang cowok.

  Banyak yang mengira aku jadian dengannya. Pemikiran yang bodoh, sebetulnya. Mereka yang mengatakan hal seperti itu sudah jelas tidak mengenal Denise sebaik aku. Ia memang orang yang sangat baik, tidak hanya padaku, tapi juga pada orang lain. Ia tidak pernah merasa keberatan bila ada yang meminta bantuannya untuk mengajari matematika. Karena aku tidak begitu pintar tentang itu, otomatis aku jadi sering belajar padanya. Ia juga punya rasa humor yang bagus. Terlalu bagus malah. Sewaktu kami masih duduk di kelas VII, dia sering sekali mengusiliku. Hal terakhir yang dia lakukan sebelum kami lulus adalah menyembunyikan ponselku di atas lemari besar di pojok depan kelas. Dia sudah lebih tinggi dariku, jadi dia bisa menaruhnya di atas sana dengan mudah sementara aku harus menggunakan kursi untuk mendapatkannya kembali.
“Denise, kembaliin ponselku!”
“Hahaha, ambil aja sendiri. Nggak terlalu tinggi, kan?”
“Iih, kamu nyebelin banget sih! Pokoknya harus kamu yang ngambil!”
“Nggak mau!”
Ya ampun, betapa aku akan sangat merindukan keisengannya.
***

   Kamu akan datang ke prom?
Aku menatap layar ponselku setengah takjub. Denise yang cuek tiba-tiba menjadi peduli dengan pesta dansa?

   Nggak tahu. Memangnya kenapa?
Ponselku bergetar tanda SMS balasannya masuk. Cepat-cepat aku membacanya.

   Cuma bertanya. Apa kamu akan pergi dengan Harris?
Aku tidak suka saat dia menyebut-nyebut nama mantan pacarku. Saat ini aku benar-benar ingin melupakan dan membuang semua kenangan tentang orang itu. Aku tidak suka karena dia beranggapan aku terlalu dekat dengan Denise, bahkan lebih dekat dibandingkan dengan dirinya. Jelas, rupanya ia pun tidak mengenal Denise sebaik aku.
Ya ampun, jelas nggak lah. Mana berani dia mengajakku?
Ya, mana berani dia mengajakku. Teman-temanku bilang aku memutuskannya dengan cara yang agak kejam, jadi menurutku dia masih terlalu takut untuk berinteraksi denganku lagi.

   Kalau gitu, mau nggak pergi ke prom bareng aku? 
Aku memandang layar ponselku tanpa berkedip. Aku takut bila sekali saja aku berkedip, deretan huruf itu akan menghilang dari layar ponselku. Lama sekali aku memandanginya, sampai-sampai mataku terasa pedih dan berair. Tanganku gemetar, hampir tidak kuat mengetikkan balasannya.

   Boleh aja.
Aku tidak bisa mengetikkan apapun yang lebih panjang dari itu. Rasanya kata apapun tidak akan cukup untuk menggambarkan perasaanku.
***

   “Apa?! Dia mengajakmu ke prom?!”
Baru pertama kalinya aku melihat wajah teman baikku Sheila berubah seekspresif itu. Aku tidak bisa merespon lebih banyak selain tersenyum lebar sambil memamerkan SMS ajakan yang dikirimkan Denise padaku kemarin malam. Sheila merebutnya dari tanganku dan mulai membacanya seolah tidak mempercayai kata-kataku barusan.
“Ya ampun, ini sudah lebih dari cukup.” Gerutunya pelan.
“Apanya yang cukup?” Tanyaku polos.
“Denise dan kamu! Ini jelas sudah lebih dari cukup. Sampai kapan kalian akan terus saling menunggu seperti ini?”
“Saling menunggu? Maksudmu apa sih?”

   Sheila memutar bola matanya dengan lagak dramatis.
“Sekarang aku tanya ke kamu dan kamu harus jawab sejujur-jujurnya. Apa alasan kamu memutuskan Harris?”
Aku terdiam sejenak sambil memandang langit-langit kelasku. “Karena dia menyebalkan.”
“Nah, kenapa dia menyebalkan?”

   Lagi-lagi aku harus berpikir sejenak. “Um, kurasa karena aku tidak suka saat dia menganggapku terlalu dekat dengan Denise.” Jawabku akhirnya.
  “Tepat!” Sheila berseru sambil menepuk bahuku.”Itulah masalahnya. Kedekatan kalian bisa dibilang tidak wajar untuk ukuran seorang sahabat.”
Aku hanya bisa melongo heran.
   Sheila melanjutkan orasinya lagi. ”Dengar ya, Denise itu menyukaimu, dan dari gerak-gerikmu, orang paling bodoh pun akan langsung tahu bahwa kamu juga menyukainya. Menurutku, Harris tidak sepenuhnya salah mengenai penilaiannya terhadapmu.”

   Sekarang dia mulai membuatku kesal. “Jadi sekarang kamu membela Harris?”
“Tentu saja tidak! Cowok posesif juga bukan sesuatu yang layak dibanggakan. Maaf ya, tapi mungkin saja alasan sebenarnya kamu memutuskannya adalah karena kamu lebih menyukai Denise daripada dirinya.”
Aku tidak tahu mengapa, tapi perkataan Sheila seolah menembus diriku dan membuat lidahku kelu.
***

   Malam harinya, aku memutuskan untuk membicarakan hal ini dengan ibuku. Beliau adalah orang yang paling tepat diajak berdiskusi mengenai hal semacam ini.
“Menurut Mama, kamu memang menyukai Denise. Tapi sebagai sahabat, sayang.”

   Aku tidak mengerti maksudnya.
“Sayang, rasa suka itu ada berbagai macam. Kamu bisa saja menyukai seseorang karena dia orang yang baik dan menyenangkan. Bisa saja kamu menyukai orang lain karena dia sangat memperhatikanmu. Itu wajar saja dan kamu tidak perlu khawatir apabila kamu menyukai seseorang, karena itu berarti bahwa kamu tidak membencinya.” Ujar ibuku sambil tersenyum dan membelai pelan puncak kepalaku.
  “Tapi aku takut, Ma. Aku takut Denise akan meninggalkanku setelah kami pisah sekolah. Aku takut dia menemukan sahabat yang lebih baik dari diriku. Dan yang paling parah, dia menemukan seorang gadis yang tepat untuk dijadikan pacar! Dia pasti akan sangat berubah dan kami tidak akan menjadi sahabat lagi…”
   “Sayang, sekali sahabat akan tetap sahabat! Seorang sahabat sejati tidak akan memutuskan ikatan itu, apapun yang terjadi. Kamu bisa punya banyak teman, tapi punya banyak sahabat adalah hal yang hampir mustahil. Ingatlah itu selalu.”
***

   Beberapa minggu setelah hari pertamaku bersekolah di SMA, Denise mengajakku chatting lewat facebook.
Hai, lama tidak bertemu. Apa kabarmu? Betah dengan sekolah barumu?
Ini pertama kalinya ia menghubungiku sejak terakhir kalinya kami bertemu di hari kelulusan.
Kabar baik. Sekolah baruku hebat! Aku senang sekali di sini. Bagaimana denganmu?
Aku tidak begitu senang.

   Kenapa begitu?
Karena aku belum mendapatkan seorang sahabat sebaik dirimu.
Aku tertegun. Sesuatu yang panas dan basah mendesak keluar dari sudut mataku. Rupanya ini;ah yang dikatakan ibuku tempo hari.
Denise, apa kita akan tetap menjadi sahabat?
Lama sekali ia menuliskan balasannya. Aku menggigiti kuku karena gugup.
Bicara apa kamu? Mana mungkin seorang sahabat bisa pensiun? Sahabat itu untuk seumur hidup. Pisah sekolah bukan hal yang perlu dikhawatirkan. Kita akan selalu jadi sahabat, aku jamin.
Beban yang selama ini menggelayuti bahuku akhirnya terlepas dan membubung tinggi ke angkasa. Aku tahu bahwa tidak ada yang perlu aku khawatirkan lagi, biarpun suatu hari nanti kami tumbuh dewasa dan terpisah berkilo-kilometer jauhnya. Selamanya kami akan jadi sahabat. Benar ‘kan, Denise?
SELESAI 
Karya : Indah Pradnyani
4. Janji 


   “....,Janji yahh”. “ia aku pasti akan menepati janjiku..”. (dalam mimpi haru)
“Haru..Haruu…Haru, Heii haru bangun. Sampai kapan kau mau tidur”, Ucap ibu membangunkan ku yang tertidur di dalam mobil. Perlahan-lahan mata ini terbuka dan dengan kondisi mata yang masih mengantuk aku melihat pemandangan lewat jendela mobil. “Haaaaahh.. Indahnya.. Desa memang tempat yang luar biasa” ucapku di dalam hati saat melihat pemandangan desa yang di baluti langit biru dengan awan putih serta sungai yang mebatasi wilayah perdesaan dan wilayah hutan di kaki gunung.

   Hari ini aku mengunjungi desa nenek bersama dengan ayah, ibu dan juga adikku. Kami berencana untuk menginap satu minggu disana. Sudah sekitar 5 tahun aku tidak mengunjungi desa ini. Saat itu aku adalah tipe anak pemalu yang tidak pandai bersosialisasi dengan anak-anak di desa. Tapi saat itu aku bertemu seorang anak laki-laki yang kira-kira sebaya denganku. Saito namanya. Aku bertemu denganya saat keluargaku sedang mengunjungi sungai, Saito sebenarnya juga sudah mengenal nenek dan kakek karena Saito adalah salah satu anak yang cukup aktif di desa itu. Entah mengapa aku merasa cukup cocok dengan saito, aku merasa tidak canggung saat di dekatnya, bermain, memancing bahkan menelusuri hutan bersama-sama. Dalam waktu sekejab saja aku sudah bisa akrab dengan saito.
  “Nenek..!!” teriak adik ku ketika melihat nenek yang sedang menyapu halaman di rumah yang sederhana tetapi masih terawat itu. “Owh Haru, Hani, lama tidak bertemu, bagaimana kabar kalian” Tanya nenek ketika melihat kami. “Baik nek.” Jawab adik ku dengan logat kekanak-kanakannya. Setelah ngobrol dan istirahat sejenak, aku beserta keluargaku berencana untuk mengunjungi sungai. Di sungai kami bermain-main air dan mata ku sempat melihat sosok yang tidak asing sedang menintip dari belakang pohon.
Janji
   Tanpa berpikir panjang aku langsung kearah pohon itu dan setelah berjalan agak jauh ke dalam hutan, seseorang memangilku dari arah belakang. Dengan perasaan was-was aku melihat ke belakang dan yang kulihat adalah sesosok anak laki-laki yang lebih pendek dari ku lengkap dengan sandal jepit khas di wilayah desa sini. “Lama tak bertemu, Haru..” ucap anak itu kepadaku. “Saito.. Saito kan?” tanyaku dengan sedikit bingung. “Iyalah, kamu kira siapa lagi, Haru.” Jawab saito dengan wajah yang terlihat kesal bercampur candaan. “Saitooo…!!!!” teriak ku sambil berlari ke arahnya. Tetapi Saito langsung menghindar dan alhasil aku menabrak pohon yang kala itu berada di belakang Saito. “Hahaha.. kamu ngak pernah berubah ya Haru, selalu ceroboh dan langsung betindak tanpa berpikir panjang dulu” Ledek Saito sambil tertawa terbahak-bahak. “Aduh..duh.. kau kejam Saito, kita kan udah lama ngak ketemu, seengak- seengaknya jangan meledeku donk..”. “Hahaha.. maaf, maaf aku Cuma bercanda tadi, maafkan aku yahh..”. “ia ia aku maafkan, tapi saito sudah beberapa lama rasanya tinggi kamu ngak bertambah-tambah yah. Padahal dulu kau lebih pendek dari ku, kan?” Tanyaku kepada saito. Tapi Saito segera berkelit dari pertanyaan itu dan mengantinya dengan pembicaraan lain.

   Setelah bercakap-cakap dengan Saito, aku baru ingat kalau aku tadi pergi tanpa berpamitan dengan orang tuaku di tepi sungai. Terpaksa aku harus kembali dan sebelum kembali, saito mengatakan kepadaku untuk datang besok siang ke tepi sungai untuk menepati janji yang dulu dia buat denganku. Aku mengatakan kalau aku pasti akan dating. Tetapi jujur, aku sendiri sudah lupa tentang janji yang aku buat denganya 5 tahun yang lalu. Tapi ya sudahlah pikir ku, karena besok pasti Saito akaan mengatakanya kepadaku.

   Esok siangnya saat aku bersama keluargaku sedang menyantap makan siang, tak sengaja aku menyingung tentang pertemuanku dengan Saito. Sejenak ayah, ibu, kakek, dan nenek ku terdiam melihat aku yang menceritakan tentang Saito. “Dimana kau bertemu dengan Saito itu” Tanya ibu kepada ku. “Di sungai, bu, saat kita kesana kemarin” jawabku. “Sebaiknya kau jangan dekati anak yang bernama Saito itu!” bentak ibu tiba-tiba pada ku. “Ibu apa-apaan sih? Kenapa tidak boleh?” tanyaku dengan nada bicara yang cukup keras. “Sudah! Pokonya kau jangan dekati dia lagi, itu saja pesan ibu.” Bentak ibu dengan nada bicara yang semakin keras. “Ibu aneh!” Teriak ku kepada ibu sambil berlari menuju hutan.


   Setelah cukup jauh berlari ke dalam hutan, aku baru sadar kalau ini sudah sangat jauh dari sungai. Aku mencoba berjalan kembali tetapi tidak kunjung mencapai sungai, aku mulai putus asa. Langkah kaki ini terasa tidak sanggup lagi berjalan ditambah lagi dengan heningnya hutan yang seakan menelan jiwa ku yang tadinya berani memasuki hutan ini. Samar-samar dari balik hutan aku melihat sesosok bayangan berjalan menghampiriku, “Hewan buaskah?” pikirku. Jantung sudah berdegup kencang dan kaki ini terasa lemas membayangkan bayangan apa yang mendekat itu sebenarnya. Melewati pohon-pohon bayangan itupun berubah menjadi semakin jelas. Saito, wujud asli dari bayangan itu seakan melegakan perasaan takut yang kubayangkan sebelumnya.

   “Saito, mengapa kau bisa mengetahui aku ada disini..” tanyaku pada Saito. “Ah..yaa.. hutan ini sudah seperti rumah bagiku, jadi aku tahu letak-letak di hutan ini” jawab Saito dengan sedikit gugup. Ada kejanggalan yang kurasakan dari Saito, walau bagaimanapun, tidak mungkin Saito secara tidak sengaja menemuiku yang teresat ini. Tapi semua pikiran negatif itu aku singkirkan, bagiku yang telah diselamatkan Saito saja ini sudah cukup, tidak peduli alasan apa yang ia katakan ketika menemukan keberadaanku. “Oh ya, Haru.. Hari ini aku akan menepati janji kita, kau masih ingatkan.” Tanya Saito. “Ohw itu, ya tentu, tentu aku masih ingat.” Jawabku kedpadanya. Aku masih belum mengingat janji apa yang aku buat saat itu, tetapi aku akan mencoba mengikuti kemana Saito akan mebawaku dengan harapan aku akan mengingatnya di perjalanan.

   Sesampainya di sebuah sisi gunung yang cukup datar , saito menyuruhku melihat kearah desa yang bisa dilihat dari sisi gunung itu. “Lihatlah Haru.. Inilah tempat yang aku janjikan waktu itu.” Ucap Saito kepadaku. Setelah aku melihat ke arah desa, terlihat jelas pemandangan yang sangat indah dari atas sini, beberapa desa yang berbatasan dengan desa nenek, padang bunga yang indah, pola sawah yang sangat teratur terlihat sangat indah dipandang. Setelah terasa cukup memanjakan mata dengan pemandangan itu kami langsung turun gunung yang kala itu waktunya sudah cukup sore.

   Di tepi sungai kulihat penduduk desa beserta orang tuaku berkumpul dan ketika melihatku mereka langsung berlari menghampiriku, mereka menanyakan kemana aku pergi tadi dan aku pun menceritakan semuanya. Semua orang seperti tidak percaya akan cerita ku. Karena yang mereka tau Saito telah hilang di hutan 5 tahun yang lalu, dan saat dilakukan pencaharian, yang ditemukan hayalah potongan pakaian Saito yang penuh darah dan bekas gigitan harimau di dalam hutan dan sampai saat in mayatnya belum ditemukan. Aku merasa tidak percaya dengan semua itu mengingat Saito adalah orang yang baru saja aku temui barusan. Lalu di saat aku terbingung, aku melihat bayangan saito di belakang pohon sedang tersenyum dan kemudian menhilang bagaikan roh yang biasa muncul di film-film horor. Esoknya, tersebar kabar kalau tulang belulang saito telah ditemukan penduduk saat sedang mencari ku yang berlari di hutan kemarin. Dengan bukti forensik dan tes DNA dari keluarga Saito membuktikan kalau tulang belulang itu adalah milik Saito.

   “Haru besok aku akan membawamu ke sisi gunung, dari sana kau bisa melihat pemandangan desa yang sangat indah.” (Saito)
“Benarkah? Kalau begitu besok kau harus membawaku kesana, Janji yah..”. (Haru)
“Ia aku berjanji” (Saito)


   5 tahun lalu aku pernah membuat janji itu dengan Saito. Tetapi esoknya aku terkena demam dan langsung dibawa oleh orang tuakku ke rumah sakit di kota. Sejak saat itu Saito terus menungguku di dalam hutan yang sepi dan hening hingga akhirnya.. ia diterkam hewan buas di hutan. Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, bertahun-tahun sampai saat ini. Ia terus menunggu ku walau wujudnya bukan lagi sebagai manusia, menunggu untuk menepati janjinya yang ia buat denganku 5 tahun yang lalu. Aku berkata dalam hati, “Maaf telah membuatmu menunggu selama ini, Saito. Dan juga.. terima kasih karena telah menungguku selama ini. Kau akan selalu terkenang di hati ini sebagai sahabat yang paling berharga untuk ku. Saito… Sekarang kau sudah bisa tenang, janjimu sudah kau tepati dan jalanmu ke dunia sana juga telah terhubung. Kembalilah ke tempat dimana kau seharusnya. Sekali lagi, maaf dan terima Kasih, Saito”

- - - TAMAT - - -
Karya : Shinichi Edogawa
5. Sebelum Habis Masa


   Kabut hitam tebal berfose di angkasa sang pencipta.Udara dingin merasuk menembus pori-pori kulit keriput yang menyimpan seribu sejarah.Gubuk sederhana menjadi saksi bisu sandiwara kehidupan.Yang terkadang ada tawa bahagia dan terkadang ada duka nestapa.
“Kreeeeek,,,,pagi yang mendung,semoga semangat kita tak akan pernah mendung”Harap seorang janda tua dibalik bilik.
   “Ya mak,,,,semoga hari ini menjadi lebih baik dari hari-hari yang sebelumnya”Sahut seorang gadis remaja yang tengah asyik menata kue dagangannya.Ya sebut saja tanti.Tanti adalah seorang gadis remaja yang pantang menyerah.Meski dia hanya tinggal bersama ibu dan adiknya yang bernama tio.Tanti sudah merasa bersyukur dan bahagia.Setidaknya ia merasa bahagia masih mempunyai keluarga dan tempat tinggal.Meski tak semewah hotel berbintang tapi tanti selalu menanamkan “Baiti Jannati”seperti yang diajarkan oleh baginda nabi SAW.
***

Sebelum Habis Masa
   “Tanti,..”dengan gugup tanti melangkah ke depan kelas.Jantungya berdebar hebat bagaikan pacuan kuda.”Selamat ya!!! Terus semangat dan terus tingkatkan prestasimu” ucap bu Diana guru fisika tanti.Tanti mengulumkan senyum.”Trimakasih ya ALLOH ,,, semoga hamba bisa menjadi lebih baik lagi” gumam tanti dalam hati.
Tanti memang bukan berasal dari keluarga yang berada.Tapi niat yang terpatri dalam benaknya begitu kuat.Tinggal menghitung bulan lagi tanti akan menghadapi Ujian akhir nasional.Beban berat yang kini di pikulnya.Bukan masalah mata pelajaran yang diujikan tapi masalah biaya ujian.Tentu saja bukan biaya ujian tanti karena tanti telah mendapatkan beasiswa dari sekolahnya.Tapi tio adik tanti yang sekarang duduk dikelas 3 smp tak seberuntung tanti.Tio memang bukan anak yang malas.Tapi kemampuannya dalam mengingat materi pelajaran memang tak sepeka ingatan tanti.
***

  Sore itu hujan begitu lebat.Atap rumah tanti yang bocor seakan telah mengizinkan air hujan menerobosnya.
   “Huk…huk….huk…huk.huk..bruuuuuaaaaaak”tubuh kurus itu tergeletak lemas di atas lantai.
“Maaaaaaak…mak kenapa mak….hikz..hikz..hikz”teriakkan histeris tanti dan adiknya beradu dengan suara Guntur hujan.
   “Tolooooooooooong….mak sabar mak…”digoyang-goyangkannya tubuh emaknya.
“Maaak,,,,mak kenapa mak???”Tio tak mau tinggal diam.Dia segera berlari keluar mencari bantuan.Meski tanti melarangnya karena hujan yang masih lebat tapi tio tetap melangkah dan tak menghiraukan tanti.
  “Nduuk,,manusia itu tidak ada yang kekal.Semua yang bernyawa pasti akan mati.Ma’afkan semua salah emak jika untuk esok dan seterusnya emak tidak bisa menemanimu.Jadilah ibu dan bapak bagi adikmu.Emak tau ini akan menjadi beban beratmu.Ma-ma-ma’aff kan e-e-emak nduk,,LA-I-LA-HA-ILLALLAAAH MU-HAM-MADUR-ROSULULLAAH”Perlahan kelopak mata emak mengatup.
  “EEEMMAAAAAAAAAAAAAAAaaaaaaak………………….ya Alloooh..emaaak….in-nalillahii ,,hikz-hikz-hikz,,wa-innaillaihi roji’un…”tanti memeluk tubuh emaknya erat-erat.Berharap ini semua hanya mimpi buruk baginya.Dilihatnya diluar rumah adiknya berlari munuju rumah mereka.
 “Mbak tanti……. A yo kita bawa emak kerum ah sakit,aku sudah minta tolong P.Ahmad”Ucap tio terengah-engah.
  “Tidak perlu tio.Emak sudah berpulang kepangkuanNYA,” hati tio tersentak mendengar bahwa emaknya telah meninggal.Tubuh tio menggigil.diselonjorkannya kakinya dilantai.”Innalillahi wainnailaihi raji’un……”
***

  Selang beberapa bulan setelah kematian ibunya , tanti terus berusaha memendam mimipinya untuk dapat melanjutkan menimba ilmu ke perguruan tinggi.Dan pagi itu dia mendengar kabar bahagia namun menyesakkan hatinya.
“Duuuooor,,,nglamun ya kak ,,”getak tio mengagetkan tanti.
“ihhh,,,kamu ini yo ,,kebiasa’an dech,,”
“Ada apa sih kak ? cerita doonk …jangan anggap tio kaya orang laen ..”
“ehmmm,,,gini yo,,,kakak kan ikut snmptn di UI dan hari ini pengumumanya , dan,,,”tanti diam sejenak.”kakak diterima menjadi mahasiswi UI yo,,”tanti tertunduk menahan tangis.
“trus kenapa kakak sedih ? harusnya kan kakak bahagia”
“tapi kalau kakak kuliah beban hidup kita pasti bertambah,dan tio kan juga masih SMA”
“Kak (tio menatap kakaknya tajam) ,Kak sa’at pemakaman ibu tio telah berjanji didepan makam ibu kalau tio akan berusaha memberikan yang terbaik.masalah biaya dan kebutuhan hidup tio yang akan menanggungnya.”
“tapikan kakak ini yang lebih punya tanggung jawab tio…”
  “kak,,tio ini anak laki-laki dan didunia ini wanita kedua yg paling tio sayang setelah ibu adalah kakak…tio akan bekerja keras untuk biaya kakak kuliah dan untuk biaya tio sekolah.kakak tenang saja tio tidak akan putus sekolah.karena kakak adalah semangat terbesar untuk tio”
  Tanti hanya diam.Air matanya seakan tak ingin berhenti mengalir.Bukan air mata kepedihan,namun air mata bahagia.Tanti bersyukur memiliki seorang adik yang begitu menyayanginya.Ia peluk adiknya “tio,,,biar bagaimanapun tio gak boleh kerja keras sendirian.sekarang kita hanya berdua.jadi susah senang harus ditanggung bersama.tio kerja keras,kakakpun akan kerja keras.kita berjuang bersama yo”
Tio tersenyum dan berbisik “sebelum habis masa aku akan selalu menjaga kakak dan melakukan yang terbaik untuk kakak..”

…….THE END……

Karya : Faddilatusolikah
Sumber

  Udah puas belum? apa masih kurang? hehe. Itulah beberapa Judul cerpen yang menarik menurut saya yang saya survey di google. Semoga anda semua yang membacanya bisa terhibur dengan cerpen diatas, Terima Kasih sudah berkunjung di blog kecil ini 

About Unknown

Cuma anak STM yang bisa ngutak ngatik. Kenali kami dari dalam, jangan dari pandangan.

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © 2015 HarryRmd

Designed by Templatezy